Kamis, 20 Oktober 2011

Tanggul Sungai Cimanuk di Desa Sukawana Jebol

20 Mei 2010 tanggul Sungai Cimanuk di Desa Sukawana, Kecamatan Jatitujuh, Kabupaten Majalengka, Jabar, jebol mengakibatkan sekitar 200 rumah dan 50 hektare sawah di Desa Pesindangan, Kecamatan Jatitujuh, terendam. Gempa bumi sudah terjadi pada tahun 1992, dan banjir serupa terakhir pernah terjadi tahun 1993, dimana desa tersebut terendam sedalam dua meter dan air baru surut sekitar seminggu. Pantauan di lokasi, Jumat, sekitar 1.000 warga mengungsi ke tempat yang lebih tinggi, karena ketinggian air hingga pukul 12.50 WIB terus naik hingga sekitar 150 centimeter.
Tim siaga bencana (Tagana) Kabupaten Majalengka, Syafrudin, mengatakan jebolnya tanggul di Desa Sukawana tersebut terjadi sekitar pukul 23.50 WIB Kamis (20/5) dan air baru sampai di Desa Pesindangan, Kecamatan Jatitujuh, Jumat sekitar pukul 05.00 WIB. "Begitu tanggul jebol, warga di Desa Pesindangan diperingatkan bahwa akan terjadi banjir," katanya.
Seorang warga desa Pesindangan, Wawan (37) mengaku, ia langsung siap-siap dan membawa keluarganya ke tempat yang lebih tinggi begitu diperingatkan Tagana. Sejauh ini, Tagana Kabupaten Majalengka telah menyiapkan satu tenda peleton, bantuan darurat bahan pangan untuk keperluan para pengungsi.Penuturan warga desa, "Kami belum tahu banjir sekarang akan berapa lama surut, mengingat air sampai sekarang terus naik,"


Warga empat desa di kaki Gunung Geulis dikejutkan oleh suara ledakan disertai getaran menyerupai gempa bumi, kemarin pagi sekitar pukul 08.00. Peristiwa itu membuat warga di Desa Raharja, Margajaya, Cinanjung, dan Gunung Manik, semuanya di Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, panik.
Di Sumedang, sapi-sapi mogok menghasilkan susu akibat ketegangan memuncak merasakan getaran2 di bawah tanah selama 10 hari berturut-turut. Dalam kurun waktu seminggu sejak 21-28 April 2010, warga desa Tanjungsari Kabupaten Sumedang merasakan getaran-getaran tanah, mendengar 10 kali dentuman bagai ledakan yang menurut BMKG berasal dari pergerakan tanah 2km di bawah tanah. Akibatnya terjadi retakan di permukaan sepanjang 1 km. Sosialisasi BMKG yang menyebutkan fenomena tersebut tidak akan sampai menghancurkan rumah, berhasil menenangkan warga untuk tidak sampai mengungsi. Khusus ledakan akibat pergerakan tanah di Tanjungsari, pemerintah harus mengerahkan penelitian ilmiah geologi, apakah terkait dengan proses pengerjaan bendungan Jatigede yang tengah berlangsung. Penggalian terowongan limpasan, penjebolan gunung.
Getaran yang dirasakan, menurut Gede Suantika - Kepala Bidang Gempa Bumi dan Gerakan Tanah, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral- setara guncangan gempa skala 4 MMI. "Gelas yang berada di atas meja sampai pecah," kata Camat Tanjungsari Deni Tanrus, yang ditemui secara terpisah. Menurut Deni, ledakan kemarin pagi adalah yang kelima kalinya. Ledakan pertama terjadi pada Rabu malam pekan lalu, disusul pada Jumat malam dan Minggu malam pekan lalu. Volume tiap ledakan tersebut variatif. "Yang pasti, bila ledakannya keras, getarannya juga kuat," kata Deni.
Uniknya, meski ledakan telah terjadi berulang kali, warga tidak menemukan bukti fisik sumber ledakan, apakah itu rctakan tanah ataupun lainnya. Deni dan unsur pemerintahan daerah setempat bersama tim yang dipimpin Gede masih terus mencari sumber ledakan. Mereka meneliti hingga 50 titik di empat desa itu.Sejauh ini, Gede menduga bunyi ledakan ber-asal dari gerakan tanah tipe rayapan, yang terjadi di bawah permukaan alias tidak terlihat. Gerakan tanah yang disertai ledakan seperti itu disebutkannya pernah terjadi di satu desa di Lampung dan Wonogiri pasca gempa Yogyakarta pada 2006. Tipe gerakan itu, kata Gede, "Menimbulkan suara gemuruh di sekitarnya."
Namun, Gede mengatakan bahwa timnya masih meneliti sumber gerakan tanah rayapan yang di kaki Gunung Geulis. Tim mencari adanya rekahan yang muncul di permukaan tanah akibat gerakan tanah itu dengan georadar.Mengenai laporan adanya dua rumah warga yang retak, Gede tak yakin itu akibat langsung dari guncangan dan gemuruh tersebut. Dia memperkirakan retakan terjadi lebih karena konstruksi rumah yang sudah lemah akibat gempa yang pernah mengguncang Jawa Barat, November lalu.

Maret 2010 terjadi potensi bencana, kekhawatiran besar pada bendungan Jatiluhur. Debit air mencapai tertiggi, 108,41 mdpl di atas batas maksimal 107 mdpl pada Kamis, 25 Maret 2010, sejak diresmikan pada 1967. Debit air tidak normal ini juga pernah terjadi beberapa kali, yaitu tahun 1973, 1984, dan 1994.
Sebenarnya, ketegangan sempat mengendur sehari sebelumnya, Rabu (24/3). Debit air di waduk berlahan-lahan turun menjadi 108,32 mdpl. Ini pun sebenarnya masih di atas normal, tapi sempat menimbulkan keyakinan bahwa penurunan akan terus terjadi meskipun tidak terlalu signifikan. Namun, hujan yang terjadi pada malam harinya membuat debit air kembali bertambah.
Arus air dari waduk ke Bendungan Ir H Juanda begitu kencang. Percikan airnya terlihat seperti kabut pekat dari kejauhan. Dua orang petugas tampak mondar-mandir di sekitar bedungan, sementara dua petugas keamanan hilir mudik di pos jaga dekat pintu masuk bendungan.
Kencangnya arus ke bendungan ini menyebabkan aliran air di terowongan pintu air bendungan dan PLTA juga begitu deras. Percikan airnya, menurut petugas, sampai dengan 20 meter ke atas. Beberapa penjaga mengawasi dari atas terowong¬an PLTA.
Ketinggian debit air di waduk itu memaksa PJT II membuka aliran air ke Sungai Citarum. Inilah yang membut muncul pendapat bahwa banjir disekitar Sungai Citarum itu disebabkan oleh Jatiluhur. Apalagi beredar isu bahwa limpasan air dari waduk itu mencapai 5.000 meter kubik. Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto dalam kunjung¬an kerjanya, Selasa (23/3), menegaskan, banjir itu bukan semata-mata disebabkan oleh aliran air dari Jatiluhur, melainkan juga hujan yang tiada henti sejak pekan lalu. Air yang digelontorkan waduk ini ke saluran pembuangan ke Sungai Citarum berada di batas kendali yang direncanakan, yaitu sekitar 700 sampai dengan 800  meter kubik per detik. Kisaran ini masih jauh dari daya tampung maksimal waduk yang kapasitasnya mencapai 3.000 meter kubik per detik.
Hal yang patut menjadi perhatian pemerintah saat ini adalah menyelamatkan bangunan bendungan serta mengendalikan banjir agar tidak meluas.

233 warga kampong Cukang, Desa Cinta, Kec. Karang tengah, Kab Garut mengosongkan rumah menyusul ancaman tanah longsor dari Bukit Cihuni yang sudah retak2.
Badan Mitigasi dan Geologi, retakan tanah di kampong mencapai panjang 150m dan lebar 20m, terpecah2 melingkar membentuk U berpotensi longsor 4 hektar. Dari 67 rumah Rt 02 dan 03 ada 82KK, 20 rumah segera direkomendasikan untuk relokasi karena sangat terancam. Karena tanah labil dan pola tanam petani yang tidak benar, seharusnya ditanami tanaman keras, dijadikan kebun sayuran. Sekarang mulai lagi ditanami tanaman keras. Pergerakan tanah memperparah retakan setiap hari, terutama bila hujan turun di malam hari, terdengar oleh rumah2 suara gemeretak di dalam tanah, seperti tanah sedang bergerak. Pernah ada batu diameter 2m tiba2 muncul dari dalam tanah langsung terbelah dua, menggelinding ke pemukiman. Tanah nya pun anjlok 3 m sepanjang 10m.
Akhirnya warga tidak berani meninggali apalagi menginap di rumahnya sendiri. Paling2 siang melihat2 keadaan dan mengambil beberapa keperluan. Beda sendiri ,Amid memilih tinggal di saung, beristirahat dan masak. Katanya sudah 4 kali retak. Pertama 1945, kemudian 1984 dan 1991. Walau kini lokasinya lain. Wabup Garut Diki Candra dan istri berkunjung dengan pengurusPARFI dan alumni SMA1. Paling mendoakan. Selain bercengkerama untuk menghilangkan trauma. Plus bantuan fisik seperti biasa.








 
read more...

Rabu, 19 Oktober 2011

JATILUHUR BUAT MASALAH LAGI

Maret 2010 terjadi potensi bencana, kekhawatiran besar pada bendungan Jatiluhur. Debit air mencapai tertiggi, 108,41 mdpl di atas batas maksimal 107 mdpl pada Kamis, 25 Maret 2010, sejak diresmikan pada 1967. Debit air tidak normal ini juga pernah terjadi beberapa kali, yaitu tahun 1973, 1984, dan 1994. Sebenarnya, ketegangan sempat mengendur sehari sebelumnya, Rabu (24/3). Debit air di waduk berlahan-lahan turun menjadi 108,32 mdpl. Ini pun sebenarnya masih di atas normal, tapi sempat menimbulkan keyakinan bahwa penurunan akan terus terjadi meskipun tidak terlalu signifikan. Namun, hujan yang terjadi pada malam harinya membuat debit air kembali bertambah.
Arus air dari waduk ke Bendungan Ir H Juanda begitu kencang. Percikan airnya terlihat seperti kabut pekat dari kejauhan. Dua orang petugas tampak mondar-mandir di sekitar bedungan, sementara dua petugas keamanan hilir mudik di pos jaga dekat pintu masuk bendungan.
Kencangnya arus ke bendungan ini menyebabkan aliran air di terowongan pintu air bendungan dan PLTA juga begitu deras. Percikan airnya, menurut petugas, sampai dengan 20 meter ke atas. Beberapa penjaga mengawasi dari atas terowong­an PLTA.
Ketinggian debit air di waduk itu memaksa PJT II membuka aliran air ke Sungai Citarum. Inilah yang membut muncul pendapat bahwa banjir disekitar Sungai Citarum itu disebabkan oleh Jatiluhur. Apalagi beredar isu bahwa limpasan air dari waduk itu mencapai 5.000 meter kubik. Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto dalam kunjung­an kerjanya, Selasa (23/3), menegaskan, banjir itu bukan semata-mata disebabkan oleh aliran air dari Jatiluhur, melainkan juga hujan yang tiada henti sejak pekan lalu. Air yang digelontorkan waduk ini ke saluran pembuangan ke Sungai Citarum berada di batas kendali yang direncanakan, yaitu sekitar 700 sampai dengan 800  meter kubik per detik. Kisaran ini masih jauh dari daya tampung maksimal waduk yang kapasitasnya mencapai 3.000 meter kubik per detik.
Hal yang patut menjadi perhatian pemerintah saat ini adalah menyelamatkan bangunan bendungan serta mengendalikan banjir agar tidak meluas.
 
read more...

Selasa, 11 Oktober 2011

Semata Menggugu pada Euforia Ekonomi Kapitalistik China

Kedekatan Soekarno dengan China telah menularkan konsep bendungan besar multifungsi atas nama teknologi tenaga air ke pemerintah Indonesia sehingga pada 1963 sudah tercanangkan program proyek waduk Jatigede, yang konon bisa membendung air Sungai Cimanuk yang berlimpah mengakibatkan banjir yang dahsyat, seperti S. Yang tze juga yang sering banjir. Banjir dari luapan S. Yangtze sering menimbulkan korban jiwa dan materiil sehingga membendung sungai saat itu dianggap akan memberi solusi.

Menjadikan Bendungan TIga Ngarai (BTN), bendungan PLTA terbesar di dunia, sebagai prototype bendungan kedua terbesar nasional merupakan kebanggaan bagi pemerintah Indonesia. Menjiplak bendungan terbesar sedunia, oleh perusahaan pembangun 80% bendungan PLTA di China, mengangkat citra pemerintahan SBY-JK. Namun pemerintah menafikan fakta controversial lingkungan, keberlangsungan hidup, peradaban dan social ekonomi politik terkait bendungan yang paling kontroversial sepanjang sejarah global tersebut. Bahkan konon Tragedi Tiananmenn 1990 yang dikenal sebagai ‘the bloody masacre’, diakibatkan salah satunya oleh penolakan masyarakat terhadap rencana Bendungan Tiga Ngarai. Keberatan pihak anti BTN, adalah karena pembangunannya kudu menggusur 1,2 juta jiwa, menenggelamkan 32.000 ha tanah pertanian yang subur,  dan menghentikan jantung industri dan agro Cina. Demonstrasi dramatis di alun-alun Tiananmen berakhir brutal. Dai Zing, pimred ‘Yangtze! Yangtze!’, suatu kumpulan esai dan wawancara yang kritis terkait BTN, ditahan di Qincheng, penjara dengan pengamanan tertinggi untuk tapol. “Saya ditangkap karena pekerjaan saya untuk Bendungan Tiga Ngarai” (Jan Wong, “U.S. wins no concessions in Beijing,” The Globe and Mail, 18 November 1991). Namun setelah terjadi pemenjaraan dan  pembantaian terhadap penuntut demokrasi, akhirnya Bendungan ‘yang paling membawa bencana buatan manusia’ versi International Rivers Network itu dibangun pada 1994.

Di balik pembangunan bendungan besar di seantero dunia, khususnya negara-negara di Asia dan Amerika Latin, di mana demokrasi belum utuh bahkan yang terjadi adalah demokrasi semu, kerap terjadi pelanggaran HAM dan praktek korupsi berjamaah terkait dana kompensasi. Namun pemerintah Indonesia rezim SBY yang begitu berambisi berburu pertumbuhan ekonomi, hanya bisa memuji-muji China dari jauh dan membuntuti apapun yang dikerjakan China, termasuk membangun bendungan pembawa bencana yang oleh International Rivers dijuluki ‘the most disastrous dam’.

Sekalipun pembangunan Bendungan Tiga Ngarai hingga kini menimbulkan kontroversi yang semakin tajam dari seluruh penjuru dunia, dalam hal HAM, lingkungan dan keuangannya, pemerintah Indonesia dari pusat BAPPENAS, Pekerjaan Umum, Kimpraswil, keuangan hingga pemerintah kabupaten dan P2T (Panitia Pembebasan Tanah) yang mungkin gaptek, terus saja menggugu pada pembangun bendungan yang kini sudah harus memindahkan lebih dari empat juta jiwa dan merusak DAS Sungai Yangtze secara keseluruhan ini.

Oleh karena itulah, blog ini diedarkan demi kemashalahatan masyarakat Indonesia yang harus diperjuangkan di lapangan perkebunan pemukiman dan persawahan pegunungan, tidak untuk dikebiri oleh euphoria ekonomi China yang diperjuangkan dari balik meja kantor pemerintahan semata.
read more...